Search This Blog

Tuesday 28 May 2019

Disensus Pengguna Commuter-Line (KRL)


Penerapan tanda antrian pada pintu masuk gerbong commuter line, tak membawa dampak signifikan pada kebiasaan penumpangnya. Penumpangnya tetap saja berebut masuk gerbong supaya menduduki singgasana perjalanan. Meski saya tidak ikut berebut kursi, tetap saja terdampak karenanya.

Jempol kaki terinjak oleh sepatu yang punya bantalan keras. Jenis sepatu seperti ini biasanya dimiliki oleh perempuan. Berbahan kayu dan cukup sakit bila digunakan untuk memukul orang. Jempol pun terpelintir, rasa nyeri dan ngilu terasa sepanjang perjalanan berangkat kerja.

Kejadian ini dampak dari ketiadaan kesepakatan dari nilai yang ditawarkan manajemen KRL dengan pengguna. Konsumen membangun perilakunya sendiri di luar nilai-nilai yang ditawarkan. Nilai ketertiban belum diterapkan, rebutan masih menjadi prioritas yang dilakukan. Inilah disensus.

Penumpang KRL mencari konsensusnya sendiri yang lebih operasional. Bisa jadi tanggapan atas situasi dari dalam KRL sendiri. Mungkin, ada yang merasa sulitnya menerima himbauan untuk memberikan kursi pada yang lebih prioritas. Menghadapi kondisi ini, pengguna sepakat untuk tidak sepakat dengan sistem antrian yang ditawarkan manajemen KRL. Disensus pun berlangsung.

Menurut para pemikir, perbedaan cara pandang antara konsumen dan pihak lain (dalam hal ini manajemen KRL) tidak sepenuhnya dapat direduksi dan dijembatani. Perbedaan tersebut akan senantiasa ada. Bahkan, bukan tidak mungkin terbuka terhadap kemungkinan artikulatif baru menuju ketegangan disensual selanjutnya. Seperti, di tangga stasiun tertulis jalur kanan untuk jalan turun, namun tetap saja seluruh posisi tangga penuh oleh orang naik. Perlu ada pihak yang “memaksa” supaya keinginan manajemen KRL tidak menjadi disensus. 

Kejadian pagi ini mungkin hanya bagian kecil dampak disensus yang perlu disepakati. Masih banyak kejadian lain yang biasa terjadi, jatuh saat rebutan kursi, terantuk kaki orang saat berdesakan masuk gerbong, tergelincir, dan masih banyak lagi. Bukan persoalan rasa sakitnya, karena rasa malu lebih berasa.
#Disensus

No comments: