Kearifan
lokal adalah sebuah budaya daerah setempat yang unik dan hanya terdapat dalam
wilayah tersebut. Tidak ada yang tahu siapa yang memulainya dan tidak ada pula
catatan sejarahnya. Masyarakat setempat mengetahuinya sebagai adat budaya yang turun
temurun dan selalu ditaati hingga saat ini.
Kearifan
lokal menjadi penting karena sifatnya yang ekslusif dan membumi. Seluruh
masyarakat setempat mempercayainya, jika ada yang melanggar mereka percaya akan
terjadi sesuatu yang menimpanya. Begitu juga di Pulau Kei besar dan Kei Kecil.
Kepulauan tempat bercokolnya kabupaten Maluku tenggara ini memiliki adat budaya
lokal dengan nama “SASI” dan Maren (gotong royong warga).
Adat Sasi
Sasi adalah budaya
masyarakat setempat Pulau Kei Besar, Kei Kecil, dan Pulau Dullah yang digunakan
masyarakat untuk melindungi alam sekitarnya. Berdasarkan informasi warga desa
Ngadi, pernah ada Sasi laut yang melarang nelayan dan warga sekitar menangkap
ikan di teluk selama 6 bulan. Setelah 6 bulan, masyarakat setempat baru bisa
menangkap ikan di teluk tersebut. Ada juga sasi ladang, untuk menjaga tanaman
pertanian supaya tetap terjaga sampai masa panen, dalam kurun waktu tertentu
baru boleh di panen.
Sasi
ditandai dengan pemasangan daun kelapa
muda (janur) di tempat yang dikenakan Sasi. Artinya terlarang bagi siapapun
yang akan beraktifitas di tempat tersebut. Setiap larangan yang termuat pada Sasi,
memiliki jangka waktu tertentu, sehingga bermanfaat bagi lingkungan. Manfaat
dari Sasi Laut misalnya adalah supaya tetap terjaga keberlangsungan hidup ikan
di teluk. Sasi ladang membuat membuat hasil panen maksimal, karena belum boleh
dipetik sebelum masa panen. Akan tetapi makna Sasi mengalami pergeseran seiring
dengan gerusan budaya luar dan kepemilikan asset adat (tanah, ladang, atau
pulau) yang berpindah kepemilikan.
Saat ini Sasi
yang muncul di masyarakat seperti terarah pada kepentingan oknum tertentu untuk
memperoleh keuntungan sepihak. Sebagai contoh pembebasan tanah adat oleh
pemerintah, maka seluruh anggota marga (keluarga besar) harus menyetujuinya,
jika belum ada kesepakatan atau masih ada anggota marga yang belum setuju, maka
tanah belum dapat digunakan sampai seluruh anggota marga setuju. Jika tetap
dilakukan pembangunan di tanah tersebut, maka anggota marga dapat mengenakan
Sasi. Sebagai contoh kasus Suku Dinas pendidikan Kabupaten Maluku Tenggara,
saat ini terbengkalai terkena Sasi.
Tanah di
pulau kei masih banyak yang dimiliki atas nama marga, bukan pribadi. Untuk
penggunaan lahan, keluarga pemilik marga tersebut bisa memanfaatkannya untuk
bercocok tanam, rumah, bangunan, dan sebagainya. Akan tetapi, anggota marga
tidak memiliki hak untuk menjualnya. Jika sampai ada yang menjual, maka
keluarga lain dapat mengenakan Sasi. Tanah milik marga yang akan digunakan oleh
pihak lain (seperti Pendatang, Marga lain, maupun pemerintah) harus melalui
upacara pelepasan tanah. Budaya pelepasan tanah ini biasanya dipimpin oleh raja
adat setempat.
Tanah marga
dijual atas dasar kesepakatan seluruh warga di dalam marga. Pada musyawarah
pelepasan tersebut terdapat upacara pelepasan tanah adat. Jika belum ada
kesepakatan, maka upacara adat pelepasan tanah tidak dilakukan.
Saat ini,
kemunculan Sasi akibat kepentingan oknum-oknum seolah mengesampaingkannya dari
kearifan lokal, tetapi lebih menjadikan adat Sasi sebagai alat untuk
melancarkan apa yang diinginkan. Sasi dari individu-individu yang mengganggu
kepentingan umum, semakin hari semakin mengganggu kegiatan masyarakat. Sasi
jembatan dan Jalan sehingga masyarakat tidak boleh lewat, Sasi Gedung
Pemerintah, sehingga pelayanan pada masyarakat tidak bisa dilakukan di gedung
tersebut (contoh Suku Dinas Maluku Tenggara). Kekuatan masyarakat setempat
dalam Sasi tertuang dalam budaya gotong royong yang disebut Maren.
Budaya Maren
Gotong
royong merupakan budaya sebagian besar masyarakat seluruh Indonesia, tak
terkecuali di Maluku Tenggara dan Kota Tual. Budaya gotong royong di wilayah
ini disebut Maren. Maren dilakukan ketika membangun jalan desa, ada keluarga
atau tetangga yang membangun rumah, membuat fasilitas umum, dan sebagainya.
Masyarakat setempat gotong royong bahu membahu menyelesaikan pekerjaan untuk
kepentingan umum. Di beberapa desa, budaya ini ada yang dilakukan secara rutin,
satu bulan sekali bersih desa dalam satu Ohoi. Ohoi adalah sebutan lingkungan
yang dipimpin oleh raja adat. Maren dilakukan di dalam desa, dusun, dan Ohoi.
3 Kasta
Warga Pulau Kei
Besar, Kei Kecil, dan Dullah yang terkenal dengan watak keras, terbagi pada 3 kasta.
Kasta tertinggi disebut Mel Mel, kasta tengah disebut Ren, dan kasta bawah
disebut Riri. Sampai saat ini, pembagian kasta masih ada. Dampaknya, apabila
kasta riri dan Ren menjadi pejabat, banyak yang tidak menghargainya. Menurut
informasi masyarakat setempat kasta terendah tidak akan pernah bisa naik
tingkat menjadi Ren, maupun Mel Mel.
Calon
legislatif sampai sekarang banyak didominasi oleh kasta atas, termasuk raja
raja adat dari maluku tenggara. Raja adat di wilayah Tual dan Maluku Tenggara menjadi
penting ketika ada konflik adat.
Status
Pemerintahan Desa/Kelurahan hanya sebatas administrasi pemerintahan saja,
dianggap tidak memiliki berwenang menanngani masalah adat. Desa atau disebut
Ohoi memiliki batas kewenangan setingkat administrasi desa, sedangkan raja
memiliki kewenanngan atas beberapa desa. Jika masalah adat tidak mampu
ditangani raja, maka naik ke atas yaitu Pati.
Konflik
antar adat dan pemerintah memang kerap muncul di wilayah ini. Masyarakat yang
sangat menjunjung tinggi adat, memaksa pemerintah untuk fleksibel dalam
menangani berbagai konflik yang bergesekan langsung dengan masyarakat. Secara
umum masyarakat pulau kei berwatak keras, tetapi berhati mulia. Selama tidak
mengganggu kepentingan mereka yang utama yaitu Wanita dan Tanah, pendatang
tetap diterima dengan baik. Mungkin tepat dengan kata mutiara “di mana bumi
dipijak, di situlah langit dijunjung”. Salam.
No comments:
Post a Comment