Search This Blog

Sunday, 11 November 2012

Strategi Bisnis LSM: Menjaga Keberlangsungan Hidup Organisasi


Bisnis yang memikirkan demand, supply, sales dan berbagai hal yang terkait produksi serta penjualan, selalu mengharapkan profit dalam jangka panjang dalam usaha yang sustainable. Bayangkan suatu bisnis kecil, missalnya produksi kue, produsen akan memikirkan bagaimana cara membayar gaji, membeli bahan baku, membiayai transportasi, membayar rekening listrik serta sarana penunjang lain. Produsen memperoleh uang, satu-satunya cara adalah menjual kue tersebut untuk menutupi segala kebutuhan dan memperoleh penghasilan (profit), sehingga proses produksi tetap berjalan.
Apabila kita selalu berfikir bahwa bisnis selalu memproduksi sesuatu dan menjualnya, maka jelas bahwa kita belum memahami alur hidup Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Organisasi non profit yang mendapatkan dana baik dari pemerintah maupun sumbangan pihak lain. Dana tersebut tidak diperoleh dari semua orang yang dilayani. Misalnya LSM BIRO TUNANETRA LAETITIA, menyemangati penyandang tunanetra untuk bersekolah atau bekerja. LSM ini tidak meminta pembayaran dari penyandang tunanetra. Lantas, bagaimana supaya mampu hidup berkesinambungan?

Seluruh kegiatan LSM membutuhkan pembiayaan yang mungkin tidak sedikit. LSM mencoba memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat, tetapi tidak menarik bayaran dari pelayanan itu. Ini merupakan situasi yang tidak menguntungkan dalam bisnis. Ditambah lagi mereka selalu membuat laporan-laporan keberhasilan berbagai kegiatan yang dilaksanakan.
Kesuksesan LSM, erat kaitannya dengan geografis yangberfokus pada satu wilayah terutama wilayah rawan. Wilayah rawan, mempu menarik perhatian donor dalam menyumbang pendana. Menurut Jonathan Starr (2011) mengelola pasar geografis tunggal dengan eksekutif di lapangan, biayanya sangat efisien. Namun LSM memerlukan program-program untuk memberikan penawaran yang dianggap menarik terutama untuk orang-orang Somalia yang membutuhkan nilai-nilai (value) dari program. Selain fokus pada wilayah tertentu, staf-staf dari LSM biasanya orang yang ikhlas menyumbang tenaga.
Staf-staf LSM termotivasi dari tujuan dan merasa memiliki organisasi. Benefit dari pekerjaan, tidak terlalu mereka fikirkan. Kenyataannya akan sulit memperoleh tenaga-tenaga yang berkualitas, apabila tidak diiming-imingi kompensasi yang besar juga. Pembiayaan LSM yang bebas pajak merupakan nilai lebih, termasuk honor staf. Hal yang disampaikan Jonathan Starr (2011), staf mereka bekerja 70 jam/minggu karena mereka termotivasi oleh tujuan misi dan merasakan kepemilikan atas keberhasilannya.
Pandai mencari informasi mengenai situasi kehidupan dan kesejahteraan sosial, untuk tujuan program. Menurut Karnani (2010), tidak semua perusahaan memanfaatkan peluang tersebut, dan dalam kasus-kasus baik kesejahteraan sosial dan penderitaan masyarakat. Usaha yang seperti ini memiliki salah satu dari dua masalah: eksekutif mereka tidak kompeten atau menempatkan kepentingan mereka sendiri depan jangka panjang perusahaan kepentingan keuangan. Misalnya, seorang eksekutif mungkin menolak untuk resiko apapun, karena mungkin membahayakan kinerja keuangan jangka pendek. Kedua adalah tekanan dari donor karena kepentingan mereka.
Dalam membangun LSM yang berkelanjutan, harus diperhatikan peraturan dari pemerintah setempat. Pemerintah memiliki kekuatan untuk menegakkan peraturan. Tidak perlu bergantung pada niat orang terbaik. Menurut Karnani (2010) peraturan pemerintah yang tidak sempurna, dan bahkan mengurangi kesejahteraan masyarakat karena biaya atau inefisiensi. Pemerintah juga mungkin tidak memiliki sumber daya dan kompetensi untuk merancang dan mengelola peraturan yang sesuai, terutama untuk bisnis yang kompleks yang membutuhkan pengetahuan khusus. Kelompok usaha sosial seperti LSM mungkin menemukan cara untuk mempengaruhi regulasi ke titik yang tidak efektif atau bahkan berakhir menguntungkan LSM dengan mengorbankan masyarakat umum.
Merangkul masyarakat sipil setempat. Masyarakat sipil mampu berperan dalam menghambat perilaku perusahaan yang mengurangi kesejahteraan sosial, bertindak sebagai pengawas dan advokat. Karnani (2010) menyebutkan berbagai organisasi nirlaba dan gerakan memberikan suara untuk berbagai sosial, politik, lingkungan, kepentingan etnis, budaya dan masyarakat. The Rainforest Action Network, misalnya, adalah sebuah organisasi yang agitates, sering cukup efektif, untuk perlindungan lingkungan yang keberlanjutan.
Memanfaatkan opini publik masyarakat lingkungan industri dalam setiap langkah yang diambil perusahaan lokal. Perusahaan tidak mungkin untuk secara sukarela bertindak demi kepentingan publik dengan mengorbankan kepentingan pemegang saham. Peraturan ini dapat berguna., bahkan mampu mempromosikan praktek-praktek yang baik dan masalah target tertentu dalam industri, dengan membebankan biaya kepatuhan yang lebih rendah dari bisnis daripada peraturan pemerintah, dan menawarkan cepat, murah prosedur alternative penyelesaian sengketa dengan masyarakat. Self-regulationjuga bisa lebih fleksibel daripada peraturan pemerintah, memungkinkan untuk merespon lebih efektif dengan perubahan kondisi. Tantangannya menurut Karnani (2010) adalah untuk merancang self-regulationdengan cara yang menekankan transparansi dan akuntabilitas, konsisten dengan apa yang masyarakat harapkan dari peraturan pemerintah. Terserah kepada pemerintah untuk memastikan bahwa setiap pengaturan diri memenuhi standar.
Masalah yang muncul dari LSM sebagai organisasi nirlaba, setidaknya dilihat dari dua arah. Pertama adalah pembayaran tenaga kerja. Pallotta (2012) membiarkan sektor nirlaba untuk membayar upah orang kompetitif berdasarkan nilai yang mereka hasilkan. Tapi dia memiliki reaksi yang mendalam terhadap ide siapa pun yang membuat uang yang sangat banyak karena membantu orang lain. Sebagai contoh apabila kita menginginkan membayar seseorang setengah-juta dolar untuk mencoba untuk menemukan obat untuk leukemia anak, maka kita dianggap parasit.
Kedua adalah diskriminasi iklan dan pemasaran. Jangan sampai sumbangan amal dihabiskan untuk iklan. Uang yang dihasilkan dari sumbangan tersebut diharapkan langsung disampaikan pada yang membutuhkan, meskipun uang yang dihabiskan untuk iklan akan meningkatkan pendapatan baru dari penyumbang dana untuk mereka yang membutuhkan.
Bagaimana kita menilai amal, jika tidak oleh betapa sedikit yang mereka keluarkan untuk biaya overhead? Dengan tiga pertanyaan sederhana: Apa tujuan mereka? Apa kemajuan yang mereka membuat arah mereka? Dan bagaimana mereka tahu? Atau setidaknya mengatakan, bahwa uang sumbangan yang diberikan salah satunya adalah untuk membayar pekerja dan biaya promosi. Apakah kita mau memberi sumbangan?



Referensi
Jonathan Starr (2011). The ‘Business’ of International Aid. http://online.wsj.com/article/
SB10001424052748704425804576220524034207558.html
Aneel Karnani (2010). The Case Against Corporate Social Responsibility. http://online.wsj.com/article/SB10001424052748703338004575230112664504890.html
Dan Pallotta (2012). Why Can't We Sell Charity Like We Sell Perfume? http://online.wsj.com/article/SB10000872396390444017504577647502309260064.html

No comments: