KONDISI RUMAH TINGGAL DI INDONESIA
Kebutuhan akan rumah, merupakan kebutuhan pokok setiap manusia selain sandang dan pangan. Bahkan, orang awam secara umum melihat kekayaan dan kemampuan seseorang secara finasial, melihat kemegahan atau kondisi rumah yang dimilikinya. Apakah itu berlaku di Indonesia? Untuk perkotaan dapat dikatakan ya. Akan tetapi, bagaimana kondisi yang sebenarnya untuk wilayah timur atau wilayah yang dikatakan tertinggal?
Hasil dari Sensus Penduduk tahun 2010, sebenarnya mampu memperlihatkan bagaimana kondisi bangunan di Indonesia. Bangunan fisik di Indonesia, dibangun mulai dari bangunan rumah, hotel, toko, pabrik, tempat ibadah, balai pertemuan dan sebagainya. Dari sisi status, ada yang menyewa/kontrak, ada hak milik, hak guna, sertifikat lainnya, atau bahkan girik dari desa masih ada yang memiliki. Kemampuan BPN dalam memberikan akses perolehan sertifikat, hanya terbatas dalam sisi pelaporan dan kelengkapan surat. Sedangkan orang kampung atau desa yang sudah atau masih memiliki girik, merasa sudah memiliki kepemilikan yang sah. Terlebih lagi, ada juga yang masih dalam bentuk akta jual beli.
Hasil Sensus Penduduk 2010 menunjukkan sebanyak 77,7% status bangunan rumah tangga di Indonesia adalah milik sendiri. Sedangkan sisanya 6,06% menyewa, 5,79% berstatus kontrak dan 10,45% status lainnya. Dalam pendataan ini, status sewa dijelaskan bahwa tempat tinggal disewa oleh KRT atau salah seorang ART dengan pembayaran secara teratur dan terus-menerus tanpa batasan waktu tertentu. Yang perlu dicatat di sini adalah pembayaran secara teratur dan terus menerus, bisa per minggu, bulan, dua bulanan dan seterusnya, serta tidak ada batas yang ditentukan oleh pemilik. Sedangkan status kepemilikan kontrak, adalah berdasarkan perjanjian antara pemilik dan pemakai, misalnya 1 atau 2 tahun, dengan cara pembayaran sekaligus di muka atau dapat diangsur. Yang menarik adalah paling rendah di DKI Jakarta sebanyak 47,45% rumah tangga menyewa, sedangkan yang kedua adalah Kepulauan Riau sebesar 60,68%, dan pada kenyataannya tidak ada yang 100% rumah tangga memiliki rumah dengan status kepemilikan sendiri.
Status kepemilikan biasanya disertai bukti, baik itu girik, akta jual beli, sampai dengan sertifikat. Kenyataannya, banyak status kepemilikan rumah tinggal di Indonesia tidak memiliki bukti kepemilikan, yaitu sebesar 28,90%. Sebagai bukti kepemilikan yang sah secara hukum, pemerintah seharusnya mulai mengupayakan menarik perhatian penduduk untuk melapor dan membuat sertifikat. Data ini memperlihatkan kurangnya kemauan dari pemilik bangunan rumah untuk melaporkan hak kepemilikannya. Masalahnya kenapa? Itu-lah yang harus diteliti lebih lanjut.
Kepemilikan rumah, selain statusnya juga erat kaitannya dengan fisik bangunan tersebut. Tentu saja, kondisi fisik rumah di perkotaan menurut sebagian besar masyarakat kita, akan lebih baik daripada di perdesaan. Kenyataan menunjukkan 50,94% rumah tinggal di kota memiliki lantai terluas keramik/marmer/granit, sedangkan di perdesaan sebesar 19,65%. Kebanyakan di desa (34,54%) memiliki lantai terluas semen/bata merah. Rumah tinggal di desa hanya sekitar 17% memiliki lantai terluas tanah. Secara nasional paling banyak 35,13% memiliki lantai terluas keramik/marmer/granit.
Secara garis besar, kondisi perumahan sebenarnya diperlihatkan oleh konsisi Atap, Lantai dan Dinding. Akan tetapi, informasi yang didapatkan dari Statistik Perumahan Indonesia hanya diperoleh informasi lantai terluas, sedangkan untuk kondisi dinding dan atap rata-rata rumah tinggal di Indonesia tidak tergambar di sini. Mungkin, ada yang lebih menarik dari lantai adalah penerangan utama di rumah tangga.
Pada satu rumah tinggal, penerangan utama yang digunakan biasanya diberdayakan oleh listrik PLN. Sedangkan sisanya adalah produksi Pemda dan swadaya masyarakat, biasanya Genset dan Surya Cell. Penggunaan listrik PLN-pun masih terbagi menjadi dua, ada yang memiliki meteran dan ada yang tidak memiliki meteran. Bahkan kepemilikan listrik tanpa meteran mencapai 18,4%, sedangkan bukan PLN hanya 3,65%. Kepemilikan listrik tanpa meteran ini mencakup listrik yang “nyantol” milik tetangga. Jangkauan PLN-pun masih rendah di Papua (38,83%) dan Nusa Tenggara Timur (48,36%). Selain listrik, ada juga informasi mengenai keberadaan tempat buang air besar.
Tempat buang air besar atau disebut jamban, terdiri dari jamban milik sendiri, jamban bersama yang dapat diakses oleh minimal dua keluarga, atau jamban umum. Dan ternyata sebanyak 18,88% tidak memiliki jamban. Bayangkan jika ada 70 juta rumah tangga se Indonesia, sebanyak 18% tidak memiliki jamban, maka akan ada 12 juta enam ratus ribu rumah tangga tidak memiliki jamban. Yang lebih mencengangkan lagi, kotoran manusia itu sebanyak 17,27% tidak dibuang di tangki septik, lha terus di buang ke mana? Ya, apakah harus diteliti lagi?
Bahan Bacaan:
http://www.bps.go.id/hasil_publikasi/stat_perumahan_sp2010/index3.php?pub=Statistik%20Perumahan%20Indonesia%20(Hasil%20SP%202010)
No comments:
Post a Comment