Aksi pemogokan buruh, sepertinya sudah tidak lagi banyak berdampak pada regulasi pemerintah. Perbaikan kebijakan yang dilakukan terus menerus oleh pemerintah sudah dianggap benar, meskipun kenyataannya dalam pelaksanaan masih jauh dari harapan. Sedikit menilik sejarah, aksi pemogokan buruh sudah terjadi, bahkan sejak akhir abad ke-18 di Eropa, pada masa revolusi industri. Permasalahan yang muncul hingga saat ini masih selalu sama, yaitu upah buruh dibawah pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Pemogokan Buruh
Pada masa revolusi industri, buruh dituntut untuk bekerja lebih dari 12 jam sehari, upah yang rendah, serta resiko kecelakaan kerja sangat tinggi. Respon buruh memuncak karena rendahnya upah, menimbulkan pertentangan antara buruh dengan majikan. Aksi anarkis buruh memuncak, sampai akhirnya melakukan perusakan pabrik dan mesinnya pada tahun 1819 di Manchester. Hal itu akibat dari kemiskinan buruh sebagai dampak krisis ekonomi.
Tahun 1883, serikat pekerja sektor perkayuan di San Fransisco menuntut pengurangan waktu kerja menjadi 9 jam kerja per hari serta penyediaan rumah tinggal. Pada tanggal 1 Mei 1886, aksi buruh garmen, sepatu, pengepakan berlanjut di Chicago, menuntut perubahan jam kerja menjadi 8 jam per hari. Akhirnya, pada tanggal ini tonggak berdirinya hari buruh, sampai sekarang kita kenal sebagai hari buruh se-Dunia.
Bagaimana dengan kondisi di Indonesia? Sejak Herman Willem Daendels (1808-1811) memperkenalkan konsep negara kolonial Hindia Belanda, tuntutan buruh karena masalah upah juga terjadi. Di Batang (1842) Karesidenan Pekalongan dan di Yogyakarta (1882) terjadi pemogokan. Permasalahan adalah upah tanam yang sering tidak dibayar serta beberapa pengawas Belanda sering memukul. Karena pada saat itu memang belum ada peraturan perlindungan terhadap buruh.
Perlingdungan terhadap buruh mulai diperhatikanpada awal abad ke-19 seiring dengan lahirnya ILO pada tahun 1919. Akhirnya, pergerakan buruh lokal dimulai dari Persatoean Pergerakan Kaoem Boeroeh pada tahun yang sama. Pergerakan lokal masih tetap diwarnai aksi pemogokan, atau justru yang terjadi adalah lebih besar. Sejarah mencatat tujuh kasus pemogokan besar terjadi masa pemerintahan kolonial, yaitu pada tahun 1920, 1922, 1923, 1925, 1925, serta pada tahun 1940. Salah satu alasannya termasuk menuntut perbaikan upah.
Tidak hanya sekedar pemogokan, aksi anarkis terjadi tahun 1926 di Batavia, Banten, Bandung, Kediri, dan Padang. Aksi massa ini dipimpin Alimin dan Moeso yang berakibat pada perusakan kantor telepon, kereta api, bengkel di Batavia. Sehingga, pemerintah kolonial Belanda menangkap buruh dan aktivis kiri pada tahun yang sama.
Aktifis perburuhan sempat berhenti sesaat mulai tahun 1941 sampai dengan 1945, pada waktu Jepang menduduki Hindia Belanda. Saat itu tidak ada hukum tertulis, semua Serikat Buruh dibubarkan, dan adanya kerja paksa (Romusha). Jangankan upah dan kesejahteraan, banyaknya buruh yang mati akibat kerja paksa ini. Sampai akhirnya masa kemerdekaan dan lahir orde lama, aktifis per-buruh-an baru hidup kembali.
Buruh Belum Pernah Merdeka
Pada jaman orde lama-pun, tidak serta merta meningkatkan kesejahteraan. Peraturan per-buruh-an masih mengikuti hukum kolonial. Gerakan Buruh yang besar, dimanfaatkan secara politis sebagai salah satu basis kekuatan massa. Adanya ikatan buruh yang didirikan partai politik pada saat itu, termasuk pembentukan Badan Kerdjasama Buruh-Militer serta Sentral Organisasi Karyawan Seluruh Indonesia yang disponsori Angkatan Darat tahun 1961.
Berkembangnya perserikatan buruh pada masa orde lama, tidak juga menghilangkan aksi pemogokan buruh. Menurut sejarah tercatat 1.787 aksi pemogokan pada tahun 1951-1955, 631 aksi pemogokan pada tahun 1956-1959 serta sejumlah 4.319 aksi pemogokan mulai tahun 1960 sampai 1964. Tuntutan buruh masih sama, salah satunya rendahnya upah.
Berganti pemerintahan-pun tidak menunjukkan peningkatan kesejahteraan buruh. Pada masa orde baru, demontrasi buruh lebih bersifat setempat dan tidak meluas. Hal ini dikarenakan adanya Serikat Pekerja (SP) yang menjadi tangan kanan pemerintah. Setelah tahun 1990’an pola penanganan pemerintah terhadap buruh menjadi lebih repressive. Pemogokan besar terjadi tahun 1992 di pabrik tekstil Bogor dan tahun 1994 pemogokan buruh di pabrik tekstil Bandung, Solo, serta Kawasan Industri Medan. Tuntutan umumnya kenaikan upah dan kesejahteraan. Ada juga yang menuntut perubahan politik supaya lebih menjamin kehidupan buruh. Lagi-lagi tuntutan kesejahteraan.
Kandasnya pemerintahan orde baru yang dilanjutkan oleh masa reformasi, diharapkan mampu member sinar terang untuk buruh. Kenyataannya perubahan ini juga terlihat belum mampu meningkatkan kesejahteraan buruh. Meskipun kebebasan berserikat dijamin, ternyata kondisi perekonomian tahun 1998 banyak mempengaruhi kasus PHK. Demonstrasi buruh meluas dan berkepanjangan. Berdampak pada lahirnya regulasi penting yang dikeluarkan pemerintah. Salah satunya adalah Upah Minimum Regional (UMR).
Regulasi terkait upah di seluruh provinsi, menurut Menakertrans, kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2012 rata-rata sebesar 10, 27 %.Perbaikan ini diharapkan meningkatnya kesejahteraan. Celakanya, peningkatan upah terasa saat menjelang Pilkada, sebagai komoditi kampanye oknum peserta. Pola pemanfaatan secara politis, seperti kembali pada masa orde lama, tapi dengan modus yang berbeda. Dampak-nya, pemimpin daerah terpilih bukan karena kemampuan, tetapi karena janji-janji saja.
Buruh hanya terlihat sebagai basis massa politik, dimanfaatkan dan terus dimanfaatkan, tapi belum disejahterakan. Harapan buruh untuk sekedar meningkatkan kesejahteraan yang setara dengan inflasi, belum pernah terealisasi. Bahkan sampai 14 tahun berjalannya reformasi, masih dihadapkan pada hal yang sama, “tuntutan kesejahteraan”. Apakah buruh yang sejahtera harus menunggu tahun 2030 setelah Indonesia menjadi negara industri baru? Tanya siapa. @US
No comments:
Post a Comment