Perselisihan Hubungan
Industrial (HI)
Perselisihan hak (normatif) merupakan tuntutan atas norma yang telah diatur di dalam peraturan
ketenagakerjaan, peraturan perusahaan (PP), atau perjanjian kerja bersama (PKB),
namun tidak dipenuhi oleh salah satu pihak. Contohnya adalah pengusaha tidak
memberikan upah lembur dan cuti , pekerja tidak bekerja sesuai ketentuan kerja. Perselisihan kepentingan timbul
terhadap hal-hal yang belum diatur dalam peraturan ketenagakerjaan, PP, atau
PKB. Perselisihan lain bisa juga terjadi karena PHK serta perselisihan antar SP dalam satu
perusahaan.
Perselisihan HI dapat diselesaikan Pengadilan
Hubungan Industrial (PHI). PHI sendiri memiliki tugas dan berwenang
memeriksa dan memutus 2 (dua) hal. Pertama,
di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan atau perselisihan antar SP/SB dalam suatu perusahaan. Kedua, di tingkat pertama mengenai perselisihan hak dan PHK. Secara umum hukum acara yang berlaku pada PHI adalah Hukum Acara Perdata. Pihak-pihak yang
berperkara tidak dikenakan biaya
yang nilai gugatannya di bawah
Rp.150.000.000,00. Susunan PHI terdiri atas 1 Hakim, 2 Hakim Ad-Hoc (usia min. 30 tahun, S1), dan Panitera (juru tulis).
Pada dasarnya awal perselisihan biasanya adalah sebuah konflik. Konflik
timbul ada yang mudah diamati yang sering dilihat sebagai industrial
action serta yg tidak mudah diamati atau tersembunyi. Konflik yang mudah diamati sebagai aksi industrial (industrial action) contohnya:
Mogok kerja (strike),
Pertemuan untuk menghentikan pekerjaan (stop-work meeting), Menurunkan
kecepatan kerja (go slow), Aksi duduk (sit-in), Aksi memakai
atribut khusus. Selanjutnya konflik yang
tersembunyi, tidak kentara contohnya: Tidak masuk kerja (absenteeism),
Semangat kerja yang rendah (low morale), Pemborosan dan kecelakaan (material wastage, inefficiency,
accident), Keluar dari pekerjaan (turnover). Akan tetapi, paling sering muncul di media massa adalah pemogokn buruh
sebagai (industrial action).
ILO menempatkan mogok kerja sebagai hak para buruh. Pemogokan merupakan tindakan kolektif berupa
penghentian atau memperlambat kegiatan guna menekan pengusaha untuk memenuhi
tuntutan pekerja. Terdapat juga hasil konvensi
no. 87 tahun 1948 tentang Hak Berserikat dan Perlindungan terhadap hak
Berorganisasi – diratifikasi Kepres No.18 Tahun 1998. Pada tahun 1952: Komite Kebebasan Berserikat menyatakan bahwa mogok
merupakan prinsip dasar hak pekerja untuk meningkatkan dan mempertahankan
kepentingan ekonomi dan sosial pekerja. Penggunaan hak ini tidak dapat dibatasi
dengan berbagai aturan yang berlebihan.
Mogok kerja memiliki beberapa sifat.
Sifat-sifat dari mogok kerja yang dilakukan buruh biasanya berkaitan dengan pekerjaan – memperoleh jaminan hidup dan
peningkatan kondisi kerja, berkaitan
dengan SP – memperoleh jaminan pelaksanaan hak berserikat, berkaitan dengan politik –
memperjuangkan solusi atas kebijakan ekonomi dan sosial, berkaitan dengan setia kawan/solidaritas – mendukung tindakan mogok
pekerja lain.
Aksi pemogokan sebenarnya dapat dilarang.
Pada kondisi-kondisi tertentu, beberapa larangan pemogokan dilakukan. Larangan mogok dapat dilakukan untuk institusi
vital (rumah sakit, perusahan air minum, perusahaan telepon, pengatur lalu
lintas penerbangan) dan pada keadaan bahaya nasional.
Ada beberapa persyaratan agar pemogokan dapat dilakukan secara legal. Persyaratan tersebut diantaranya: Pemberitahuan terlebih dahulu, Kewajiban melakukan prosedur konsiliasi, mediasi, arbitrasi sukarela yang
cepat dan tidak menghambat hak mogok, Kewajiban memperoleh kuorum tertentu, Kewajiban
mengambil keputusan pemogokan melalui
pemungutan suara secara rahasia, Mengambil langkah-langkah untuk keselamatan, Penetapan pelayanan minimum dalam kasus tertentu, Jaminan untuk kebebasan melakukan pekerjaan bagi yang tidak mogok.
Dalam rangka mencegah pemogokan
maka pengusaha membangun kepercayaan pekerja terhadap manajemen melalui
komunikasi efektif dengan bawahan (dialog & konsultasi berkala). Melaksanakan seluruh hak normatif
pekerja yang telah diatur melalui perundangan dan PP/PKB. Meningkatkan kesejahteraan pekerja lebih dari standar inimal jika
perusahaan sudah mampu. Menyediakan
fasilitas yang diperlukan pekerja: kamar mandi, tempat ibadah, kantin,
fasilitas olah raga, transportasi, penitipan bayi. Mendorong pembentukan
Serikat Pekerja.
Pemogokan menurut UU
Pemogokan
adalah hak dasar dari pekerjadan SP yang harus dilakukan secara legal dan damai
sebagai hasil dari gagalnya perundingan. Ajakan kepada pekerja lainnya untuk
melakukan pemogokan dilakukan tanpa melanggar perundangan. Pemogokan pada
perusahaan yang memberikan layanan publik atau yang dapat membahayakan hidup
manusia harus diatur agar tidak mengganggu kepentingan publik dan tidak
membahayakan keselamatan orang lain.
Cara melakukan pemogokan: Memberitahukan secara tertulis tujuh hari
sebelum pemogokan kepada pengusaha dan instansi ketenagakerjaan pemerintah, Pemberitahuan
berisi waktu, tempat, alasan, dan ditandatangani oleh penanggung jawab
pemogokan, Pengusaha dilarang:
menggantikan pekerja yang mogok dengan pekerja dari luar perusahaan, memberikan
sanksi kepada pelaku mogok. Lockout dilarang:
Dilakukan sebagai tindakan balasan atas tuntutan normative, Dilakukan paa
perusahaan yang melayani kepentingan publik (rumah sakit, telekomunikasi,
pembangkit listrik, dll). Kejadian berlebihan dalam pemogokan, biasanya membuat
buruh terkena PHK.
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
merupakan pengakhiran hubungan kerja yang seharusnya masih terus
berlangsung. Terjadi antara perusahaan dan pekerja yang berstatus tetap, yang
telah melewati masa percobaan. Beberapa hal tidak termasuk PHK adalah Pensiun, Pemutusan hubungan kerja selama
masa percobaan, Berakhirnya masa perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), Mengajukan
permintaan pengunduran diri secara sukarela – membayar penggantian hak dan uang
pisah, Meninggal dunia – kepada ahli waris diberikan.
Perupahan
Upah adalah
kewajiban yang harus dibayarkan oleh pengusaha kepada buruh yang telah bekerja
memenuhi tuntutan produksi pengusaha. Pemenuhan hak ini harus memperhatikan
kehidupan yang layak bagi kemanusiaan. Tanggung jawab terhadap pemenuhan hak
ini bukan hanya berada pada pihak pengusaha saja, tetapi pemerintah mempunyai
kewajiban yang besar untuk melindungi kaum buruh dari kesewenangan pengusaha
dalam memberikan upah kepada buruh.
Upah menurut
UU No.13/2003 adalah hak buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang
sebagai imbalan dari pengusaha kepada buruh yang ditetapkan dan dibayarkan
menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan
termasuk tunjangan bagi buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan atau jasa
yang telah dan akan dilakukannya. Namun, pengertian upah tidak hanya dipahami
sebagai imbalan saja sebagaimana diatas, tetapi upah harus dipahami sebagai
satu hak yang didapat dan harus sesuai dengan apa yang dihasilkan dari kerja
buruh, sehingga ada nilai keadilannya.
Upah Minimum
adalah suatu standar minimum yang digunakan oleh para pengusaha atau pelaku
industri untuk memberikan upah kepada pekerja di dalam lingkungan usaha atau
kerjanya. Karena pemenuhan kebutuhan yang layak di setiap propinsi
berbeda-beda, maka disebut Upah Minimum Propinsi. Pasal 89 Undang-Undang Nomor
13 menyatakan bahwa penentuan upah minimum diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan
kehidupan yang layak. Upah minimum ditentukan oleh Gubernur setelah
mempertimbangkan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau
Bupati/Walikota.
Pemberian
Upah merupakan suatu imbalan/balas jasa dari perusahaan kepada tenaga kerjanya
atas prestasi dan jasa yang disumbangkan dalam kegiatan produksi. Upah kerja
yang diberikan biasanya tergantung pada:
-
Biaya
keperluan hidup minimum pekerja dan keluarganya
-
Peraturan
perundang–undangan yang mengikat tentang Upah Minimum Regional (UMR).
-
Kemampuan
dan Produktivitas perusahaan
-
Jabatan,
masa kerja, pendidikan, dan kompetensi.
-
Perbedaan
jenis pekerjaan
Tunjangan adalah tambahan benefit yang ditawarkan perusahan
pada pekerjanya. Yang dimaksud tunjangan tetap adalah tunjangan yang diberikan
secara rutin per bulan yang besarannya relatif tetap, contoh: tunjangan
jabatan, tunjangan keluarga, tunjangan keahlian/profesi. Sedangkan, tunjangan
tidak tetap adalah tunjangan yang penghitungannya berdasarkan kehadiran atau
performa kerja, seperti transportasi, makan, insentif, biaya operasional.
Undang–Undang
tidak mengatur mengenai tunjangan tidak tetap (tunjangan makan, transportasi,
dll). Kebijakan mengenai tunjangan jenis ini, tergantung perusahaan
masing-masing. Untuk Tunjangan Kesejahteraan/Kesehatan, dalam UU no 13 pasal 99
mengatur adanya Jaminan Sosial untuk para pekerja.
Adapula Tunjangan
Hari Raya (THR) diatur dalam Peraturan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.PER.04/MEN/1994 tentang Tunjangan
Hari Raya (THR) Keagamaan Bagi Pekerja di Perusahaan. Pengusaha diwajibkan
untuk memberi THR Keagamaan kepada pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3
(tiga) bulan atau lebih secara terus-menerus. Pekerja yang bermasa kerja 12
bulan secara terus menerus atau lebih, mendapat THR minimal satu bulan gaji.
Sedangkan Pekerja/buruh yang bermasa kerja tiga bulan secara terus-menerus
tetapi kurang dari 12 bulan, mendapat secara proporsional, yaitu dengan
menghitung masa kerja yang sedang berjalan dibagi 12 (dua belas) bulan dikali
satu bulan upah. Pemerintah secara tertulis dan tegas mengatur kegiatan terkait
perupahan. Pembayaran upah yang menjadi hak buruh, dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan mereka, diatur dalam berbagai peraturan berikut.
-
Kovenan
Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
-
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Bab X Bagian Kedua tentang Pengupahan.
-
Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah.
-
Peraturan
Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor: PER.01/MEN/1999 tentang Upah
Minimum.
-
Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : KEP. 49/MEN/IV/2004 tentang Struktur
dan Skala Upah.
-
Peraturan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : PER.17/MEN/VIII/2005 tentang
Komponen dan Pelaksanaan Tahapan
Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak.
Pekerja Migran
Migrasi merupakan perubahan tempat kediaman secara permanen atau
semi-permanen dari tempat asal ke tempat tujuan, dilakukan baik secara terpaksa
maupun suka rela dalam area satu negara (migrasi internal) atau melewati batas
politis negara (migrasi internasional). Kategori
migrasi: semasa hidup (lifetime migration), kembali (return
migration), risen (recent migration, > 5 tahun),
musiman (seasonal migration, < 5 tahun).
Migrasi di
Indonesia memiliki sejarahnya tersendiri. Zaman kolonial: kebutuhan pekerja di
sektor perkebunan dengan mengirimkan orang Jawa ke Suriname. Perikatan kultural
dari jalur perdagangan menyebabkan migrasi orang Bugis, Madura, Bawean, Flores,
dan Sasak ke Malaysia Semanjung dan Sabah. Migrasi ke Timur Tengah merupakan
efek samping ibadah haji dan umroh, serta kerja sama serikat burh berbasis
agama Islam. Sesudah masa keemasan bisnis minyak berlalu, baru dilakukan
penempatan pekerja migran oleh pengerah tenaga kerja ke Timur Tengah dan
Malaysia (Susilo, 2008:2).
Beberapa
pendapat mengenai alasan migrasi, Faktor
yang mempengaruhi keputusan migrasi (Todaro & Smith, 2003 dalam
Santoso, 2007: 266): 1) Faktor
pendorong dari daerah asal, 2) Faktor
penarik dari daerah tujuan, 3) Faktor
rintangan yang berada di antara keduanya. Meksiko
& Turki (Escobar dkk. 2006 dalam Santoso, 2007: 266) menyebutkan Migrasi
musiman akibat tekanan pengangguran di dalam negeri, dan harapan memperoleh
pendapatan yang besar di negara lain. Janvry
dan Sadoulet (2001 dalam Santoso, 2007: 266) mengungkapkan pekerja Meksiko
mempertimbangkan ikatan komunitas di daerah tujuan, besar pendapatan yang diharapkan,
dan risiko migrasi. Santoso (2007:265): Alasan
pekerja melakukan migrasi musiman internasional adalah harapan akan pendapatan yang tinggi (expected wage) di
luar negeri (sampel: pekerja dari Kabupaten Cirebon).
Tenaga Kerja Indonesia (TKI)
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar
negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah.
Karakteristik TKI menurut Nasution (1999 dalam Santoso, 2007:265): Tingkat pendidikan rendah, Usia 15-40 tahun, Tingkat pengetahuan dan ketrampilan rendah, Etos kerja rendah. Menurut Santoso (2007:275) karakteristik TKI memiliki pendapatan
keluarga atau kekayaan yang memadai sebagai katup pengaman ekonomi keluarga di
daerah asal jika muncul risiko bermigrasi & biaya awal migrasi, Perempuan
berusia di bawah 25 tahun, Pendidikan minimal SMA.
Peraturan
pemerintah mengenai TKI ordonansi semasa
zaman colonial menyebutkan penyediaan asuransi kesehatan, perumahan, dan hak
normatif lain serta membawa keluarga. Pada zaman Orde Baru UU tahun 1967
tentang Ketenagakerjaan hanya mengandung 1pasal mengenai pekerja migrant. Pada
zaman Reformasi UU 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar
Negeri, Inpres No. 6/2006 tentang reformasi perlindungan TKI, Cebu Declaration tentang perlindungan
dan hak pekerja migrant.
Menurut UU nomor 39 tahun 2004, pemerintah bertugas mengatur,
membina, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan penempatan dan perlindungan
TKI di luar negeri. Menjamin terpenuhinya hak-hak calon TKI/TKI, baik yang
berangkat melalui pelaksana penempatan TKI, maupun yang berangkat secara
mandiri. Mengawasi pelaksanaan penempatan calon TKI. Membentuk dan
mengembangkan sistem informasi penempatan calon TKI di luar negeri. Melakukan
upaya diplomatik untuk menjamin pemenuhan hak dan perlindungan TKI secara
optimal di negara tujuan; dan memberikan perlindungan kepada TKI selama masa
sebelum pemberangkatan, masa penempatan, dan masa purna penempatan. Untuk menjamin dan mempercepat terwujudnya
tujuan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri dibentuk Badan Nasional
Penempatan dan Perlindungan TKI.
Kelemahan
dari UU ini adalah Belum ada peraturan pelaksanaan UU No. 39/2004 misalnya
mengenai: 1) Komitmen bilateral dengan negara tujuan, 2) Komitmen multilateral
dengn meratifikasi UN Convention tentang Perlindungan Pekerja Migran. Pembuatan
kebijakan tidak mengacu kepada perlindungan pekerja migran, namun lebih mengacu
kepada dokumen persyaratan lembaga keuangan internasional, misal: Inpres No.
5/2003 hasil dorongan IMF untuk mengintensifkan pekerja migran untuk memperoleh
devisa. Target Menakertrans adalah Rp. 186 trilyun tahun 2009. Inpres No.
3/2006 hasil desakan World Bank untuk merevisi UU No.39/2004 mengenai pasal
yang menghambat iklim investasi penempatan pekerja migrant.
No comments:
Post a Comment