Search This Blog

Tuesday, 18 December 2012

Hubungan Industrial: Masalah


Perselisihan Hubungan Industrial  (HI)
Perselisihan hak (normatif) merupakan tuntutan atas norma yang telah diatur di dalam peraturan ketenagakerjaan, peraturan perusahaan (PP), atau perjanjian kerja bersama (PKB), namun tidak dipenuhi oleh salah satu pihak. Contohnya adalah pengusaha tidak memberikan upah lembur dan cuti , pekerja tidak bekerja sesuai ketentuan kerja. Perselisihan kepentingan timbul terhadap hal-hal yang belum diatur dalam peraturan ketenagakerjaan, PP, atau PKB. Perselisihan lain bisa juga terjadi karena PHK serta perselisihan antar SP dalam satu perusahaan.

Perselisihan HI dapat diselesaikan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). PHI sendiri memiliki tugas dan berwenang memeriksa dan memutus 2 (dua) hal. Pertama, di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan atau perselisihan antar SP/SB dalam suatu perusahaan. Kedua, di tingkat pertama mengenai perselisihan hak dan PHK. Secara umum hukum acara yang berlaku pada PHI adalah Hukum Acara Perdata. Pihak-pihak yang berperkara tidak dikenakan biaya yang nilai gugatannya di bawah Rp.150.000.000,00. Susunan PHI terdiri atas 1 Hakim, 2 Hakim Ad-Hoc (usia min. 30 tahun, S1), dan Panitera (juru tulis).
Pada dasarnya awal perselisihan biasanya adalah sebuah konflik. Konflik timbul ada yang mudah diamati yang sering dilihat sebagai industrial action serta yg tidak mudah diamati atau tersembunyi. Konflik yang mudah diamati sebagai aksi industrial (industrial action) contohnya: Mogok kerja (strike), Pertemuan untuk menghentikan pekerjaan (stop-work meeting), Menurunkan kecepatan kerja (go slow), Aksi duduk (sit-in), Aksi memakai atribut khusus. Selanjutnya konflik yang tersembunyi, tidak kentara contohnya: Tidak masuk kerja (absenteeism), Semangat kerja yang rendah (low morale), Pemborosan dan kecelakaan (material wastage, inefficiency, accident), Keluar dari pekerjaan (turnover). Akan tetapi, paling sering muncul di media massa adalah pemogokn buruh sebagai (industrial action).

ILO menempatkan mogok kerja sebagai hak para buruh. Pemogokan merupakan tindakan kolektif berupa penghentian atau memperlambat kegiatan guna menekan pengusaha untuk memenuhi tuntutan pekerja. Terdapat juga hasil konvensi no. 87 tahun 1948 tentang Hak Berserikat dan Perlindungan terhadap hak Berorganisasi – diratifikasi Kepres No.18 Tahun 1998. Pada tahun 1952: Komite Kebebasan Berserikat menyatakan bahwa mogok merupakan prinsip dasar hak pekerja untuk meningkatkan dan mempertahankan kepentingan ekonomi dan sosial pekerja. Penggunaan hak ini tidak dapat dibatasi dengan berbagai aturan yang berlebihan.
Mogok kerja memiliki beberapa sifat. Sifat-sifat dari mogok kerja yang dilakukan buruh biasanya berkaitan dengan pekerjaan – memperoleh jaminan hidup dan peningkatan kondisi kerja, berkaitan dengan SP – memperoleh jaminan pelaksanaan hak berserikat, berkaitan dengan politik – memperjuangkan solusi atas kebijakan ekonomi dan sosial, berkaitan dengan setia kawan/solidaritas – mendukung tindakan mogok pekerja lain.
Aksi pemogokan sebenarnya dapat dilarang. Pada kondisi-kondisi tertentu, beberapa larangan pemogokan dilakukan. Larangan mogok dapat dilakukan untuk institusi vital (rumah sakit, perusahan air minum, perusahaan telepon, pengatur lalu lintas penerbangan) dan pada keadaan bahaya nasional.
Ada beberapa persyaratan agar pemogokan dapat dilakukan secara legal. Persyaratan tersebut diantaranya: Pemberitahuan terlebih dahulu, Kewajiban melakukan prosedur konsiliasi, mediasi, arbitrasi sukarela yang cepat dan tidak menghambat hak mogok, Kewajiban memperoleh kuorum tertentu, Kewajiban mengambil keputusan pemogokan melalui pemungutan suara secara rahasia, Mengambil langkah-langkah untuk keselamatan, Penetapan pelayanan minimum dalam kasus tertentu, Jaminan untuk kebebasan melakukan pekerjaan bagi yang tidak mogok.
Dalam rangka mencegah pemogokan maka pengusaha membangun kepercayaan pekerja terhadap manajemen melalui komunikasi efektif dengan bawahan (dialog & konsultasi berkala). Melaksanakan seluruh hak normatif pekerja yang telah diatur melalui perundangan dan PP/PKB. Meningkatkan kesejahteraan pekerja lebih dari standar inimal jika perusahaan sudah mampu. Menyediakan fasilitas yang diperlukan pekerja: kamar mandi, tempat ibadah, kantin, fasilitas olah raga, transportasi, penitipan bayi. Mendorong pembentukan Serikat Pekerja.

Pemogokan menurut UU
Pemogokan adalah hak dasar dari pekerjadan SP yang harus dilakukan secara legal dan damai sebagai hasil dari gagalnya perundingan. Ajakan kepada pekerja lainnya untuk melakukan pemogokan dilakukan tanpa melanggar perundangan. Pemogokan pada perusahaan yang memberikan layanan publik atau yang dapat membahayakan hidup manusia harus diatur agar tidak mengganggu kepentingan publik dan tidak membahayakan keselamatan orang lain.
Cara melakukan pemogokan: Memberitahukan secara tertulis tujuh hari sebelum pemogokan kepada pengusaha dan instansi ketenagakerjaan pemerintah, Pemberitahuan berisi waktu, tempat, alasan, dan ditandatangani oleh penanggung jawab pemogokan, Pengusaha dilarang: menggantikan pekerja yang mogok dengan pekerja dari luar perusahaan, memberikan sanksi kepada pelaku mogok. Lockout dilarang: Dilakukan sebagai tindakan balasan atas tuntutan normative, Dilakukan paa perusahaan yang melayani kepentingan publik (rumah sakit, telekomunikasi, pembangkit listrik, dll). Kejadian berlebihan dalam pemogokan, biasanya membuat buruh terkena PHK.
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merupakan pengakhiran hubungan kerja yang seharusnya masih terus berlangsung. Terjadi antara perusahaan dan pekerja yang berstatus tetap, yang telah melewati masa percobaan. Beberapa hal tidak termasuk PHK adalah Pensiun, Pemutusan hubungan kerja selama masa percobaan, Berakhirnya masa perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), Mengajukan permintaan pengunduran diri secara sukarela – membayar penggantian hak dan uang pisah, Meninggal dunia – kepada ahli waris diberikan.


Perupahan
Upah adalah kewajiban yang harus dibayarkan oleh pengusaha kepada buruh yang telah bekerja memenuhi tuntutan produksi pengusaha. Pemenuhan hak ini harus memperhatikan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan. Tanggung jawab terhadap pemenuhan hak ini bukan hanya berada pada pihak pengusaha saja, tetapi pemerintah mempunyai kewajiban yang besar untuk melindungi kaum buruh dari kesewenangan pengusaha dalam memberikan upah kepada buruh.
Upah menurut UU No.13/2003 adalah hak buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha kepada buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan termasuk tunjangan bagi buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan atau jasa yang telah dan akan dilakukannya. Namun, pengertian upah tidak hanya dipahami sebagai imbalan saja sebagaimana diatas, tetapi upah harus dipahami sebagai satu hak yang didapat dan harus sesuai dengan apa yang dihasilkan dari kerja buruh, sehingga ada nilai keadilannya.
Upah Minimum adalah suatu standar minimum yang digunakan oleh para pengusaha atau pelaku industri untuk memberikan upah kepada pekerja di dalam lingkungan usaha atau kerjanya. Karena pemenuhan kebutuhan yang layak di setiap propinsi berbeda-beda, maka disebut Upah Minimum Propinsi. Pasal 89 Undang-Undang Nomor 13 menyatakan bahwa penentuan upah minimum diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan kehidupan yang layak. Upah minimum ditentukan oleh Gubernur setelah mempertimbangkan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota.
Pemberian Upah merupakan suatu imbalan/balas jasa dari perusahaan kepada tenaga kerjanya atas prestasi dan jasa yang disumbangkan dalam kegiatan produksi. Upah kerja yang diberikan biasanya tergantung pada:
-          Biaya keperluan hidup minimum pekerja dan keluarganya
-          Peraturan perundang–undangan yang mengikat tentang Upah Minimum Regional (UMR).
-          Kemampuan dan Produktivitas perusahaan
-          Jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi.
-          Perbedaan jenis pekerjaan
Tunjangan adalah tambahan benefit yang ditawarkan perusahan pada pekerjanya. Yang dimaksud tunjangan tetap adalah tunjangan yang diberikan secara rutin per bulan yang besarannya relatif tetap, contoh: tunjangan jabatan, tunjangan keluarga, tunjangan keahlian/profesi. Sedangkan, tunjangan tidak tetap adalah tunjangan yang penghitungannya berdasarkan kehadiran atau performa kerja, seperti transportasi, makan, insentif, biaya operasional.
Undang–Undang tidak mengatur mengenai tunjangan tidak tetap (tunjangan makan, transportasi, dll). Kebijakan mengenai tunjangan jenis ini, tergantung perusahaan masing-masing. Untuk Tunjangan Kesejahteraan/Kesehatan, dalam UU no 13 pasal 99 mengatur adanya Jaminan Sosial untuk para pekerja.
 Adapula Tunjangan Hari Raya (THR) diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.PER.04/MEN/1994 tentang Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan Bagi Pekerja di Perusahaan. Pengusaha diwajibkan untuk memberi THR Keagamaan kepada pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 (tiga) bulan atau lebih secara terus-menerus. Pekerja yang bermasa kerja 12 bulan secara terus menerus atau lebih, mendapat THR minimal satu bulan gaji. Sedangkan Pekerja/buruh yang bermasa kerja tiga bulan secara terus-menerus tetapi kurang dari 12 bulan, mendapat secara proporsional, yaitu dengan menghitung masa kerja yang sedang berjalan dibagi 12 (dua belas) bulan dikali satu bulan upah. Pemerintah secara tertulis dan tegas mengatur kegiatan terkait perupahan. Pembayaran upah yang menjadi hak buruh, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan mereka, diatur dalam berbagai peraturan berikut.
-          Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
-          Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Bab X Bagian Kedua tentang Pengupahan.
-          Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah.
-          Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor: PER.01/MEN/1999 tentang Upah Minimum.
-          Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia  Nomor : KEP. 49/MEN/IV/2004 tentang Struktur dan Skala Upah.
-          Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia    Nomor : PER.17/MEN/VIII/2005 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan  Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak.

Pekerja Migran
Migrasi merupakan perubahan tempat kediaman secara permanen atau semi-permanen dari tempat asal ke tempat tujuan, dilakukan baik secara terpaksa maupun suka rela dalam area satu negara (migrasi internal) atau melewati batas politis negara (migrasi internasional). Kategori migrasi: semasa hidup (lifetime migration), kembali (return migration), risen (recent migration, > 5 tahun), musiman (seasonal migration, < 5 tahun).
Migrasi di Indonesia memiliki sejarahnya tersendiri. Zaman kolonial: kebutuhan pekerja di sektor perkebunan dengan mengirimkan orang Jawa ke Suriname. Perikatan kultural dari jalur perdagangan menyebabkan migrasi orang Bugis, Madura, Bawean, Flores, dan Sasak ke Malaysia Semanjung dan Sabah. Migrasi ke Timur Tengah merupakan efek samping ibadah haji dan umroh, serta kerja sama serikat burh berbasis agama Islam. Sesudah masa keemasan bisnis minyak berlalu, baru dilakukan penempatan pekerja migran oleh pengerah tenaga kerja ke Timur Tengah dan Malaysia (Susilo, 2008:2).
Beberapa pendapat mengenai alasan migrasi, Faktor yang mempengaruhi keputusan migrasi (Todaro & Smith, 2003 dalam Santoso, 2007: 266): 1) Faktor pendorong dari daerah asal, 2) Faktor penarik dari daerah tujuan, 3) Faktor rintangan yang berada di antara keduanya. Meksiko & Turki (Escobar dkk. 2006 dalam Santoso, 2007: 266) menyebutkan Migrasi musiman akibat tekanan pengangguran di dalam negeri, dan harapan memperoleh pendapatan yang besar di negara lain. Janvry dan Sadoulet (2001 dalam Santoso, 2007: 266) mengungkapkan pekerja Meksiko mempertimbangkan ikatan komunitas di daerah tujuan, besar pendapatan yang diharapkan, dan risiko migrasi. Santoso (2007:265): Alasan pekerja melakukan migrasi musiman internasional adalah harapan akan pendapatan yang tinggi (expected wage) di luar negeri (sampel: pekerja dari Kabupaten Cirebon).

Tenaga Kerja Indonesia (TKI)
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah.
Karakteristik TKI menurut Nasution (1999 dalam Santoso, 2007:265): Tingkat pendidikan rendah, Usia 15-40 tahun, Tingkat pengetahuan dan ketrampilan rendah, Etos kerja rendah. Menurut Santoso (2007:275) karakteristik TKI memiliki pendapatan keluarga atau kekayaan yang memadai sebagai katup pengaman ekonomi keluarga di daerah asal jika muncul risiko bermigrasi & biaya awal migrasi, Perempuan berusia di bawah 25 tahun, Pendidikan minimal SMA.
Peraturan pemerintah mengenai  TKI ordonansi semasa zaman colonial menyebutkan penyediaan asuransi kesehatan, perumahan, dan hak normatif lain serta membawa keluarga. Pada zaman Orde Baru UU tahun 1967 tentang Ketenagakerjaan hanya mengandung 1pasal mengenai pekerja migrant. Pada zaman Reformasi UU 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, Inpres No. 6/2006 tentang reformasi perlindungan TKI, Cebu Declaration tentang perlindungan dan hak pekerja migrant.
Menurut UU nomor 39 tahun 2004, pemerintah bertugas mengatur, membina, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri. Menjamin terpenuhinya hak-hak calon TKI/TKI, baik yang berangkat melalui pelaksana penempatan TKI, maupun yang berangkat secara mandiri. Mengawasi pelaksanaan penempatan calon TKI. Membentuk dan mengembangkan sistem informasi penempatan calon TKI di luar negeri. Melakukan upaya diplomatik untuk menjamin pemenuhan hak dan perlindungan TKI secara optimal di negara tujuan; dan memberikan perlindungan kepada TKI selama masa sebelum pemberangkatan, masa penempatan, dan masa purna penempatan. Untuk menjamin dan mempercepat terwujudnya tujuan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri dibentuk Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI.
Kelemahan dari UU ini adalah Belum ada peraturan pelaksanaan UU No. 39/2004 misalnya mengenai: 1) Komitmen bilateral dengan negara tujuan, 2) Komitmen multilateral dengn meratifikasi UN Convention tentang Perlindungan Pekerja Migran. Pembuatan kebijakan tidak mengacu kepada perlindungan pekerja migran, namun lebih mengacu kepada dokumen persyaratan lembaga keuangan internasional, misal: Inpres No. 5/2003 hasil dorongan IMF untuk mengintensifkan pekerja migran untuk memperoleh devisa. Target Menakertrans adalah Rp. 186 trilyun tahun 2009. Inpres No. 3/2006 hasil desakan World Bank untuk merevisi UU No.39/2004 mengenai pasal yang menghambat iklim investasi penempatan pekerja migrant.

No comments: