Mudik merupakan sebuah prosesi yang sakral bagi seluruh
elemen bangsa indonesia. Seluruh aspek kehidupan masyarakat, mulai dari
pengemis, pengamen, buruh, bisnismen, bahkan pemerintah terlibat di dalamnya.
Mudik identik dengan kampung halaman. Kampung tempat
dilahirkan, kampung tempat orang tua tinggal, kampung keluarga istri, kampung
sanak keluarga lain. Di kota besar, ada juga majikan yang mengantarkan
pembantunya pulang kampung sampai rumah. Karena sang majikan asli kota, bukan
kampung. Sang majikan ikut pulang kampung ke rumah pembantunya.
Kota besar tak ubahnya seperti kota tak bertuan. Jakarta
sepi. Jika diibaratkan, kita berjalan di tengah jalan, tak ada mobil yang
menabrak. Mau lompat dr gedung tertinggi pun, tak ada yang menolong. Mau main
sepak bola di tengah air mancur hotel indonesia, tak ada yang melarang. Siapa
penduduk kota itu? Kemana mereka? Orang asli kota sudah banyak yang memiliki
istri dari kampung. Mereka ikut mudik juga.
proses mudik terbesar di Indonesia menjelang lebaran.
Jalurnya selalu sama, pantura atau lintas selatan. Masalah yang muncul-pun
selalu sama. Macet. Jarak tempuh 500 km yang bisa ditempuh 10-12 jam, saat ini
bisa jadi 20 - 25 jam. Pemborosan yang sudah dianggap lumrah.
Boros bisa berarti apapun, tidak hanya uang. Boros waktu
yang terbuan sia-sia, yang sebenarnya bisa kita gunakan untuk hal lain yang
lebih bermanfaat. Boros bahan bakar, perjalanan kendaraan umum terutama bus
yang memakan waktu dua kali lipat, menguras bahan bakar dua kali lipat juga.
Pertamina harus konsentrasi pada penyaluran bahan bakar di sepanjang jalur
mudik. Masyarakat di sekitar jalur mudik harus rela jalan utamanya di penuhi
pemudik, sampai akhirnya mengganggu berbagai aktivitas kesehariannya...
No comments:
Post a Comment