Tujuan utama pembangunan adalah mewujudkan masyarakat yang
sejahtera, adil dan makmur. Jika membicarakan sejahtera dinyatakan sebagai suatu
kondisi masyarakat yang telah terpenuhi kebutuhan dasarnya, serta terpenuhinya
hak asasi dan partisipasi serta terwujudnya masyarakat beriman dan bertaqwa,
maka kesejahteraan yang diukur dari berbagai hal objektif tidak cukup
menggambarkan kesejahteraan itu sendiri.
Kesejahteraan penduduk pada saat ini diukur dari pendapatan
per kapita ditambah dengan pencapaian pembangunan manusia yang diukur dengan
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sepertinya masih belum cukup. IPM yang meningkat dan angka kemiskinan yang
terus menurun, ternyata memiliki paradoks tersendiri. Meningkatnya jumlah
tindak pidana/kejahatan, meningkatnya kasus bunuh diri, serta meningkatnya
perkelahian massal, seperti memperlihatkan pada kita dampak pembangunan pada
kondisi yang lain.
Di Indonesia tingginya PDRB dan tingginya IPM berbanding
terbalik dengan angka kemiskinan, ternyata tidak berlaku di Yogyakarta. Di
provinsi ini, nilai IPM yang tinggi ternyata memiliki penduduk miskin yang
cukup tinggi juga. Apa penyebabnya? Adakah yang salah dengan pengukuran
kesejahteraan kita? Selama ini, pengukuran kesejahteraan selalu diukur dari berbahai hal
objektif. Seperti pendidikan yang ditamatkan, status pekerjaan, keluhan
kesehatan, dan sebagainya. Sehingga ada hal lain yang tidak tertangkap pada
pengukuran ini, yaitu perasaan subjektif.
Kepuasan atau kebahagiaan hidup tidak selamanya bisa dibeli
dengan materi. Di Jepang pendapatan rata-rata penduduk dalam 1 tahun mencapai
50 ribu dollar, akan tatapi kejadian bunuh diri tinggi, mulai dari anak sekolah
sampai dengan pengusaha. Hal yang hampir sama terjadi di Amerika. Tetapi korban
membunuh orang lain sebelum membunuh dirinya sendiri. Atau kejadian di Timur
Tengah yang membawa rompi yang berisi bom dan meledakkan dirinya sendiri di
tengah keramaian. Itu semua bisa jadi bentuk ketidakpuasan dalam hidup mereka
(pelakunya).
Di dunia internasional sudah banyak studi mengenai
kebahagiaan. Negara Bhutan menggunakan Gross National Happiness (GNH) dalam
mengukur kesejahteraan di negaranya.
OECD mengembangkan better life
index yang dilakukan pada 20 negara yang tergabung dalam anggotanya, yaitu
Negara dalam kategori maju. Ada juga hasil survei Ipsos Global yang diterbitkan
awal Februari yang kemudian dikutip oleh majalah Time (Kamis, 1 Maret 2012),
Indonesia masuk dalam posisi teratas dalam kategori negara yang sangat
berbahagia. Berbeda dengan Happy Planet Index pada tahun 2012 yang menempatkan
Indonesia pada posisi 14 dari 151 negara.
Di Indonesia saat ini dilakukan sedang dilaksanakan studi terkait tingkat kebahagiaan penduduk sebagai proxi dari kesejahteraan. Studi ini bernama Studi Pengukuran Tingkat Kebahagiaan (SPTK) dilaksanakan Badan Pusat Statistik.Salah satu pertanyaannya adalah "Seberapa bahagia kehidupan Anda?".
No comments:
Post a Comment